Sebenarnya efek rumah kaca (ERK) adalah alamiah dan tidak berbahaya. Sebab, jika tidak ada ERK seperti ini maka suhu bumi sangat dingin, ada yang menyebutkan suhu bumi 30oC lebih rendah dari sekarang (Munawir, 2010). Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi. Sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmosfer menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa ERK ini maka suhu udara akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan mungkin tidak ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan sudu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60oF atau 15oC (KKPG, 2002).
Komposisi kimiawi dari atmosfer sedang mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida, metan dan asam nitrat. Atmosfer yang seharusnya dapat menahan dan melindungi kehidupan bumi dari serangan radiasi sinar matahari dan meredam perbedaan suhu secara ekstrim pada siang dan malam, mengalami kerusakan atau perubahan gas-gas penyusunnya.
Faktor utama yang menyebabkan meningkatnya ERK antara lain adalah akibat berbagai aktivitas manusia, terutama proses industri dan transportasi yang meningkatkan emisi ke atmosfer. Rusaknya tatanan atmosfer menyebabkan gas-gas (pancaran radiasi matahari) tersebut tidak seimbang komposisinya, sehingga mengakibatkan perubahan iklim di bumi (Prima, 2010). Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara spektakuler. Sekitar 70% dipakai oleh Negara-negara maju dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Sedangkan penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20% dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah (KKPG, 2002).
Menurut Ahli Biologi, laut mempunyai peranan penting dalam siklus karbon karena siklus karbon sebagian besar terjadi di laut, yaitu sekitar 90%. Terganggunya siklus karbon di laut menyebabkan terjadinya peningkatan suhu permukaan laut sehingga semakin rendah proses penyerapan karbon di udara oleh laut. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pemanasan global dan salah satu akibatnya adalah fenomena iklim El Nino dan La Nina (As-Syakur, 2007).
Kondisi tersebut yang akan menyebabkan perubahan iklim di wilayah Indonesia. Fenomena El Nino menyebabkan meningkatnya suhu permukaan laut di Pasifik Timur-Tengah, berkurangnya curah hujan (CH) di wilayah Indonesia, dan meningkatnya CH di wilayah Pasifik dan AS bagian timur. Sedangkan fenomena La-Nina menyebabkan mendinginnya suhu permukan laut di Pasifik Tengah/Timur dan meningkatnya CH di wilayah Indonesia (Prima, 2010).
Kondisi Aktual Iklim di Indonesia pada bulan November 2010 suhu permukaan laut diatas perairan Indonesia lebih panas dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Adanya daerah tekanan rendah di Samudera Hindia sebelah barat Bengkulu dan di Laut Cina Selatan mempengaruhi peningkatan aktifitas pertumbuhan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Fenomena La Nina diprediksi terus dominan hingga Maret-April 2011 dan selanjutnya menuju kondisi netral pada bulan Mei 2011.
A. Dampak Perubahan Iklim terhadap Perkembangan OPT
Dampak perubahan iklim bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia. Peningkatan kejadian iklim ekstrim yang ditandai dengan fenomena banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak pada pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia. Pengaruh kejadian iklim ekstrim tersebut seringkali menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa hama dan penyakit utama tanaman. (www.balitklimat.litbang.deptan.go.id, 2011).
Dampak kekeringan akan menyebabkan populasi ulat pemakan daun kelapa sawit seperti ulat api Setothosea asigna dan ulat kantong Mahasena corbetii, juga dapat meningkat karena kondisi kering mendukung perkembangannya. Selain itu, kerusakan kelapa sawit karena hama tikus pada musim kering cukup tinggi dan penyakit busuk pangkal batang Ganoderma boninense cenderung menjadi lebih cepat berkembang (Ditjen Binprobun, 2004).
Sebaliknya pada musim penghujan serangan penyakit yang disebabkan oleh cendawan lebih dominan, seperti penyakit antraknosa dan bercak daun pada kapas. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan boll busuk sampai kehilangan hasil 70% atau dapat menyebabkan kerugian pada benih rata-rata 45%.
B. Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Pengelolaan terhadap berbagai perubahan iklim diperlukan untuk mengelola perubahan iklim, dan secara simultan untuk antisipasi yang komfrehensif terhadap dampak perubahan iklim bumi dalam jangka panjang. Perubahan iklim bumi dapat ditanggulangi melalui penyusunan kebijakan adaptasi dan mitigasi. Adaptasi adalah penyesuaian sistem sosial dan alam dalam mengatasi dampak negatif perubahan iklim, sedangkan mitigasi adalah upaya mengurangi sumber maupun peningkatan rosat (penyerap) gas rumah kaca sehingga proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai. (Ditjenbun, 2007).
Adaptasi dilakukan melalui pengunaan varietas tanaman yang dianjurkan, seperti tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan kebijakan rotasi penanaman sesuai prakiraan iklim yang berkaitan dengan perubahan iklim tersebut. Pola tanam tumpang sari (intercropping) mempunyai potensi terjadinya gangguan hama yang kompleks. Untuk itu pemilihan jenis tanaman sangat penting, yaitu tanaman yang dipilih bukan merupakan inang alternatif dari hama utama tanaman perkebunan.
Usaha mitigasi dapat dilakukan dengan implementasi pengendalian hama terpadu, melalui: konservasi musuh alami, peningkatan keanekaragaman (diversity) tanaman, mengintensifkan pest surveillance yang berkelanjutan, dan penggunaan pestisida secara selektif. Selain itu, pemanfaatan informasi iklim untuk sistem peringatan dini (Early Warning) dengan menerapkan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) atau Sekolah lapang Iklim (SL-Iklim) bagi petani dan kelompok tani.
Antisipasi serangan OPT di masa yang akan datang, sistem peringatan dini tersebut perlu dibangun. Perlu ditunjang dengan kelembagaan yang tepat dan kuat. Berbagai stakeholder terkait seperti Dirat Perlindungan Perkebunan, Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon, Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pontianak, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota, BMKG, kelompok tani, dan pelaku agribisnis lainnya perlu dilibatkan. Selain itu, penelitian dan pengembangan tentang prediksi iklim serta permodelannya harus terus dilakukan untuk mendukung peningkatan akurasi prediksi serangan OPT di masa yang akan datang, paparnya.
0 komentar:
Post a Comment