Jakarta - Matahari pagi telah menyingsing menyinari Torosiaje, sebuah desa di bagian Barat Gorontalo yang menjadi rumah bagi suku Bajo. Hangatnya menyentuh kulit sementara sinarnya membuat hamparan air laut, biru berkilauan. Waktu telah menunjukkan pukul 07.00 WITA sehingga sebagian besar penduduk desa telah bangun dari tidur dan memulai aktivitasnya. Sesekali perahu-perahu suku Bajo yang disebut sope, terlihat hilir mudik di antara rumah-rumah panggung berbahan dasar kayu yang menjadi tempat tinggal mereka.
Torosiaje menjadi destinasi tim petualang Daihatsu Terios 7 Wonders selanjutnya setelah Manado dan Tompaso. Mencapai desa yang saat ini ditetapkan sebagai desa wisata ini bukan tanpa perjuangan. Tim petualang Daihatsu Terios 7 Wonders harus menempuh perjalanan 850 kilometer dengan waktu tempuh lebih dari 12 jam akibat terhambat kemacetan di sepanjang rute yang dilalui.
Rusaknya jalan sepanjang wilayah Bolaang Mongondow menguji ketangguhan dan suspensi Daihatsu Terios TX yang mereka tumpangi. Selain itu, juga menguji ketahanan fisik dan mental mereka. Malam itu, tanggal 2 Oktober 2014 seharusnya mereka sudah tiba di Torosiaje. Namun kondisi perjalanan membuat mereka terpaksa harus bermalam di dalam unit Daihatsu Terios yang ditumpangi untuk beristirahat sejenak.
Lelah sudah pasti. Namun setibanya mereka di desa ini pada keesokan paginya, perasaan tersebut seketika terhapus dikalahkan oleh pemandangan yang bukan main indahnya. Warga desa menyambut mereka dengan ramah. Tanpa lama menunggu, langsung saja, mereka membawa tim petualang melintasi koridor-koridor kayu yang menghubungkan satu rumah panggung ke rumah panggung lainnya.
Sangsan, pria berusia 63 tahun yang adalah tetua adat suku Bajo telah menunggu untuk bertutur tentang sejarah dan kearifan suku yang dikenal sebagai pelaut handal dan tinggal secara nomaden di tengah laut tersebut. “Suku Bajo, berasal dari prajurit kerajaan Bajo yang mengemban tugas mulia untuk mencari dan membawa kembali putri raja Bajo yang hilang di tengah lautan,” tutur Sangsan.
Mereka mengembara di tengah laut dengan sebuah sope. Bukan hanya perairan Sulawesi saja yang ditelusuri oleh suku Bajo tetapi juga perairan di sekitar Filipina. Karena itu, tidak heran jika suku nomaden ini juga ditemui di Kendari dan beberapa daerah di Filipina. Pemerintah pernah mencoba melokalisasi suku Bajo di daratan. Namun, suku ini tetap memilih kembali ke lautan. Baru pada tahun 1901, suku Bajo mulai menetap di Torosiaje dan menciptakan desa di atas laut dengan rumah-rumah panggung kayu sebagai tempat tinggal mereka.
Setelah terhanyut oleh kisah Sangsan mengenai legenda suku Bajo dan kearifan lokal yang dipegang teguh, tim petualang juga berinteraksi dengan suku Bajo yang menghuni Torosiaje. Tim secara langsung menyaksikan cara hidup, adat istiadat dan merasakan kehangatan interaksi dengan suku Bajo.
Sayang sekali mereka tak bisa berlama-lama di Torosiaje. Untuk mengejar waktu, mereka bergegas menuju kota Palu dan melanjutkan ke Polewali Mandar. Tim akam menguak keindahan dan sejarah kain Mandar. Perjalanan sejauh 600 kilometer lebih kembali ditempuh.
Jalan rusak dan berdebu di luar desa Torosiaje, trek menanjak dan menurun, medan berpasir di daerah pesisir menjadi tantangan bagi mereka. Belum lagi udara panas yang mencapai 32.2° C. Untung saja Daihatsu Terios TX baik yang bertransmisi otomatis maupu manual memiliki ketangguhan yang setara untuk menghadapinya. Suspensi, rem, kemampuan mesin hingga ketajaman headlight, hingga sistem pendingin ruang kabin yang handal membantu tim melalui medan tersebut.
Sesampainya di Polewali Mandar, tim disambut dengan tarian Kuda Menari. Suara rebana menghentak-hentak berirama dan kuda yang ditunggangi wanita cantik berpakaian tradisional Sulawesi dan berpayung menari. “Tarian dan atribut yang dipakai dalam tarian ini tidak boleh dipakai sembarangan. Hanya khusus untuk menyambut tamu terhormat saja,” ujar Andi Beda, Dinas Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan Majene. Tim Daihatsu Terios 7 Wonders pun merasa bangga.
Mereka kemudian langsung diperkenalkan pada keindahan kain Mandar, tenun sutra paling halus se-Nusantara. Kain Mandar tradisional bercorak kotak-kotak dan seringkali dipakai sebagai sarung. Namun seiring perkembangan zaman, kain ini dikreasikan dengan beragam corak dan warna. Ada juga yang ditambahkan aksen benang emas dan perak. Kegunaannya pun lebih fleksibel, dapat digunakan sebagai bahan pembuat kemeja laki-laki.
Proses menenun kain ini memakan waktu satu minggu. Andi Beda menjelaskan, pemilihan benang sutra, pemintalan, pencelupan, dan penjemuran benang dilakukan dengan sangat hati-hati agar kualitas kain bagus. Kain yang dihargai Rp 75.000,- hingga Rp 300.000,- ini pun tidak boleh dicuci sembarangan atau warnanya akan pudar.
Tim berkesempatan mencoba memasukkan benang dan menenun. Namun karena hari sudah gelap, proses tidak dapat diteruskan. Mereka cukup mengagumi keindahan kain yang sudah semakin langka akibat sedikitnya generasi penerus yang mampu mengoperasikan mesin tenun tradisionalnya ini.
Perjalanan pun berlanjut diiringi syahdunya takbir dan pembicaraan sepanjang perjalanan mengenai Torosiaje dan kain Mandar. Mereka akan menuju Parepare, kota dimana CSR Daihatsu berupa kurban 7 ekor kambing akan dilakukan. Bagaimana pengalaman mereka di Parepare? Ikuti terus kisahnya.
http://news.detik.com/read/2014/10/06/165308/2711068/727/legenda-suku-bajo-si-penjelajah-laut-dan-pesona-kain-mandar
Tuesday, 7 October 2014
Home »
» Legenda Suku Bajo si Penjelajah Laut dan Pesona Kain Mandar
0 komentar:
Post a Comment